Rabu, 20 Februari 2013

Filosofi Tungku Masak

Filosofi Tungku Masak

Dari tempat memasak ini ternyata banyak sekali muncul filosofi kebudayaan Karo. Setiap tungku terdapat lima batu yang dibentuk empat batu berbentuk segi empat dan satu batu lagi diletakkan di tengah, sehingga secara bersamaan bisa diletakkan dua periuk.
Lima batu ini melambangkan lima merga (marga) di Karo, yaitu Ginting, Sembiring, Tarigan, Karo-karo dan Perangin-angin. Sekali memasak digunakan tiga batu, yang menandakan jabatan anggota keluarga yang terbagi menjadi tiga (rakutna telu), yaitu kalingbubu, anak beru dan simbuyak.
Di atas tungku perapian terdapat para, yang terdiri dari lima lapis, yaitu masing-masing lapis secara berurut untuk tempat menyimpan ranting (kayu) api, periuk dan alat-alat memasak, bumbu dan bahan masakan, serta lapisan teratas tempat menyimpan padi.
Karena tinggal dalam satu atap, maka pewarisan budaya dan tata krama kepada generasi muda pada saat itu lebih cepat dan seragam. Ada sembilan perilaku yang sangat dilarang keras dilakukan oleh generasi muda, karena melanggaran kesopanan dan budaya Karo. Aturan ini masih dijalankan hingga sekarang.
Perilaku yang dilarang itu adalah sumbang perkundul (cara duduk yang tidak sopan), sumbang pengerana (cara berbicara yang tidak sopan/kasar), sumbang pengenen (cara melihat yang tidak baik), sumbang perpan (cara makan yang tidak sopan), dan sumbang perdalan (cara berjalan yang tidak baik).
Perilaku lain yang dilarang yaitu sumbang pendahin (pekerjaan yang dibenci orang), sumbang perukuren (cara berpikir yang jelek), sumbang peridi (cara mandi yang dilarang oleh adat istiadat) dan sumbang perpedem (cara tidur yang tidak baik).
Besarnya minat wisatawan mancanegara melihat keunikan rumah siwaluh jabu membuat Pemda Karo menetapkan beberapa desa di Tanah Karo menjadi desa budaya, selain beberapa desa lainnya, Dokan, Serdang, Barusjahe dan Peceren.







































Tidak ada komentar:

Posting Komentar