DIA YANG KUCARI
Karya Mirza Diani
Aku masih terduduk diam di sudut kedai kopi itu. Memegang erat cangkir berisi kopi hangat dengan tanganku, lalu menyesapnya perlahan. Mataku terarah pada pemandangan di balik jendela, suasana mendung, lalu turun gerimis yang menyejukkan hati. Sambil menikmati suara gemericik air hujan, pikiranku tiba-tiba membawaku kembali menuju peristiwa beberapa tahun silam. Di tempat ini.
* * *
6 tahun yang lalu
Perlahan aku memasuki ruangan kelas baruku, pandanganku berputar memandangi teman baruku satu persatu. Lalu tersenyum kecut. Sejak dulu aku tak pernah benar-benar suka dengan awal tahun ajaran baru, mencoba beradaptasi, bersosialisasi lagi, berpura-pura tidak menjadi diri sendiri saat awal perkenalan agar disukai teman baru. Menyebalkan, walau pada akhirnya lama kelamaan, ketika semuanya mulai berjalan malah terasa menyenangkan.
“Sudahlah Ci, jangan langsung pasang tampang kayak gitu. Ini baru hari pertama masuk loh,” Lala menepuk bahuku lalu berjalan mencari kursi kosong untuk ia tempati. Lala ini tetangga sekaligus temanku sejak SMP. Anehnya, setelah bertahun-tahun berteman dan satu sekolah, baru kali ini kami dapat kelas yang sama.
“Ayo. Lu duduk sama gue kan?” panggilnya lagi saat ia sudah berhasil menemukan kursi kosong untuk kami berdua. Aku mengangguk dan menghampirinya, menaruh tasku, lalu duduk di kursi itu sambil menelungkup. Kebiasaanku bila sedang tak nyaman.
“Gue keluar dulu, ya Ci. Lu gapapa gue tinggal,” tanyanya sesaat setelah menaruh tasnya.
“Hemm..” aku menjawabnya dengan singkat tanpa mengangkat kepalaku.
* * *
“Masih pagi kok udah tidur di kelas,” aku mendongakkan kepalaku saat mendengar suara itu. Sejak tadi aku memang merasakan mejaku berguncang, aku tahu, pasti ada seseorang yang sudah duduk di kursi depanku. Kurasa ia hanya iseng, pikirku. Lalu aku menaruh kepalaku ke atas meja lagi, tak menghiraukannya.
* * *
Sama seperti biasanya, setiap bel istirahat berbunyi, aku akan menyempatkan diri untuk duduk sebentar di pinggir lapangan. Menyaksikan dia dan teman-temannya bermain basket.
Sosok bertubuh tinggi dan berkepala plontos satu centi itu berlari menuju ring sambil menggiring bola, dengan cepatnya ia melemparkan bolanya dari luar lingkaran.
“Three point,” teriaknya dengan gembira. Lagi-lagi, ia berhasil menambah poin timnya. Jantungku benar-benar berdetak lebih kencang saat melihatnya melakukan gerakan andalannya itu. tiba-tiba sosok itu menoleh dan melemparkan senyum ke arahku. Kurasa aku akan mati kalau melihat senyum itu lagi, pikirku.
Namanya Sully, Sullivan Atmonegoro. Tapi ia lebih sering di panggil ‘bule’ oleh teman-temannya. Bukan karena di keturunan bule, tapi namanya yang terlalu bule untuk kuit cokelatnya yang terlalu Indonesia. Dia setahun lebih tua dariku, andalan tim basket SMA Tunas Bangsa, juga bassist band ‘Gigantic’ yang berhasil memenangkan kompetisi aransemen jingle produk mie instan yang sudah sangat populer itu.
“Heh. Bengong aja. Sambil ketawa-ketiwi sendiri lagi,” suara Lala menyadarkanku, “Liatin siapa sih?”
“Sully,” jawabku singkat. Benar saja, tawa Lala menyembur saat aku menyebut nama Sully.
“Kenapa ketawa?” tanyaku dengan sebal kepadanya.
“Ci, Ci.. Sampe kapan lu mau nungguin Sully terus. Inget Ci, dia itu most wantednya cewek-cewek di sekolah kita. Resiko untuk patah hati terlalu besar,” jelasnya setelah tawanya mereda.
Diam-diam aku merenungi perkataan Lala barusan. Aku tahu resikonya memang besar. Bagai pungguk merindukan bulan kalau kata pepatah. Tapi, aku tak punya pilihan, tak mungkin aku tega membunuh perasaan ini.
* * *
“Heh, gue pinjem tipe-x lu dong,” ujar anak laki-laki yang duduk di depanku itu kepadaku. Aku memberikan tipe-x milikku kepadanya.
“Oh iya, nama lu siapa, sih? Perasaan kita belum kenalan,” tanyanya sambil mengulurkan tangannya kepadaku.
“Rexy,” jawabku tanpa menyambut uluran tangannya.
“Cakep-cakep kok judes, sih. Nggak nanya nama gue siapa? Yaudah deh, gue yang kenalin diri aja. Gue Arka, Arkanza Haidar,” ekspresi wajahnya berubah jadi suram, “Gue gak ada niat buruk sama lu kok,”
Aku memandangi wajahnya, menatap matanya. mencari kebohongan, tapi yang kutemukan kejujuran dan ketulusannya ingin berteman denganku.
“Sorry ya, Ka,” ujarku sambil tersenyum. Dia membalas senyumanku. Suasana diantara aku dan Arka mulai mencair. Dia memulai pembicaraan di antara kami. Menceritakanku lelucon-lelucon konyolnya, dan ternyata dia juga jago menggambar. Perkenalan yang aneh ini sukses menjadikan Arka teman terdekatku di kelas ini setelah Lala.
* * *
Langit mulai gelap, awan hitam bergulung di langit. Aku tahu pasti sebentar lagi pasti turun hujan, dan sialnya aku tidak bawa payung hari ini. Gerimis mulai membasahi. Terpaksa aku menunggu di depan pos satpam sekolahku hingga hujan mereda. TIIINN.. TIIINNN..
“Mau bareng nggak?” aku menoleh ke sumber suara itu. Kulihat Arka duduk di atas motornya sambil menahan derasnya hujan yang jatuh ke kepalanya, “Tapi gue cuma bawa ponco. Lu gapapa kan pake itu?”
Aku mengangguk mengiyakan. Arka lalu turun dari motornya dan membantuku mengenakan ponco hujan miliknya ke tubuhku.
“Emang agak aneh. Tapi lumayan lah, lu gak kebasahan jadinya,” ujarnya lagi.
* * *
“Lapar nggak? Turun disini dulu, yuk. Kita makan,” ujarnya saat kami melewati sebuah kedai kopi. Aku hanya bisa mengangguk karena jujur saja saat itu aku juga kelaparan.
“Pesen apa Ci?”, “Samain aja kayak lu,”, “Ok mbak. Double cheeseburger sama hot cappucinnonya dua,”
Sambil menunggu pesanan datang, aku kembali menikmati pemandangan hujan dari jendela. Sejak dulu aku sangat suka dengan hujan. Bau tanah yang bercampur air, suara hujan yang mendamaikan hati. Membuatku lebih rileks.
“Rexy Violitta,” panggil Arka.
“Iyaa,”
“Udah punya pacar belum?”
Aku terlonjak kaget saat mendengar Arka menanyakan hal itu kepadaku.
“Kalau belum, boleh nggak gue jadi pacar lu?”
Aku terbahak mendengan ucapan Arka barusan. Menganggapnya hanya bercanda karena selama ini itulah yang selalu ia kerjakan. Membuat lelucon dan lelucon. “Bercanda ah. Mabuk kali lu,”
“”Kaa.. gue suka sama yang jago olahraga, sama jago main musik,” sambungku, tiba-tiba aku teringat sosok Sullivan.
Arka terdiam membisu. Aku semakin keheranan dengan tingkahnya hari ini.
“Yang tadi Cuma bercanda kan, ka? Nggak serius?” tanyaku lagi dengan hati-hati. Arka menggeleng, tapi ia juga menjawab dengan lemah, “Nevermind,”
* * *
Saat ini aku sedang berdiri di samping lapangan basket. Melakukan rutinitasku, memperhatikan Sullivan. Sullivan, yang sejak tadi kuperhatikan tiba-tiba menghampiriku.
“Hei..” sapanya. Aku tersenyum lalu memberikannya sebotol air mineral. Kalian salah besar bila menyangka aku tak mengenalnya, aku kan juga anggota tim basket putri sekolah ini.
“Thanks,” lalu ia menenggak air mineral yang barusan ku berikan, lalu mengelap keringatnya.
“Gimana permainan gue? Ada kemajuan nggak kalau menurut lu?”
“Stabil. Lu mah udah kayak master of basketnya sekolah ini lah, kak. Haha,” jawabku.
“Bisa aja nih. Yang lebih jago tuh si bang Aryo. Kan dia yang ngajarin kita semua. Haha. Eh, lu besok ikut tanding lawan SMA Nasional?”
“…” suaraku tertahan saat melihat senyum lebar menyungging dari bibir Sullivan. Wajah itu, pancaran sinar bahagianya, dan pandangan matanya tertuju pada seorang gadis di seberang lapangan, sorot matanya, aku tahu pasti ada sesuatu. Sesuatu yang tak ingin ku ketahui kenyataannya.