Legenda Raja Sisingamangaraja XII
Pada tahun 1875 Patuan Bosar yang
kemudian digelari dengan Raja Ompu Pulo Batu, ditabalkan menjadi Si
Sisingamangaraja XII di Bakara. Si Singamangaraja XI (Ompu Sohahuaon),
ayahanda Si Singamangaraja XII, nyatanya telah berfungsi sebagai
Raja-Imam Batak dalam tenggang waktu yang lama sekali (50 tahun), yaitu
dari tahun 1825 hingga tahun 1875, yakni setelah Tuanku Rau, penganjur
aliran wahhabi itu membunuh Si Singamangaraja X (Ompu Tuan Nabolon) pada
tahun 1825 di dekat Siborong-borong.
Menurut adat istiadat Batak, putra tertua
dari suatu keluargalah yang diutamanakan melanjutkan pekerjaan dan
fungsi orang-tuanya, khususnya di bidang adat dan pemerintahan. Karena
itulah maka penduduk di Bakara dan sekitarnya ingin menabalkan Ompu
Parlopuk menjadi Si Singamangaraja XII. Tetapi karena untuk dapat
menjadi Si Singamangaraja, seseorang harus mempunyai ciri-ciri
kharismatis pula. Persyaratan itu harus dapat dipenuhi oleh orang yang
akan ditabalkan menjadi penerus pimpinan kerajaan dan keimanan Si
Singamangaraja. Kepemimpinan Kharimatis harus ada pada setiap Si
Singamangaraja, yang pada masa lampau, di yakini selalu syarat mutlak
daripada kepemimpinan dalam kerajaan, oleh penduduk yang masih
dipengaruhi oleh suasana magis dan mystis, Calon Si Singamaraja harus
dapat mencabut PISO GAJA DOMPAK dari sarungnya, menurunkan hujan dan
membuat tanda-tanda luar biasa (mukjizat).Persyaratan ini nyatanya tidak
dapat dipenuhi oleh Ompu Parlopuk tetapi dapat dipenuhi oleh adiknya,
yaitu Patuan Bosar. PISO GAJA DOMPAK itu ada sejak Si Singamangaraja I
yaitu sekitar pertengahan abad XVI masehi. PISO GAJA DOMPAK adalah
lambang kerajaan Si Singamangaraja. Keris itu bukanlah sembarang keris.
Keris panjang ini adalah salah satu terpenting di kerajaan Si
Singamangaraja yang di mulai dan berpusat di Bakara, ditepi Danau Toba,
hanya sekitar 8 km dari Pulau Samosir yang indah itu.
Setelah melalui suatu proses yang
berliku-liku, patuan Bosar pun, yang sebenarnya masih muda belia
(sekitar 17 tahun) ditabalkan pada tahun 1875 menjadi Si Singamangaraja
XII, karena ia mampu mencurahkan hujan pada musim kemarau yang parah
waktu itu.
Selaku singa yang melampaui dan singa
yang terlampaui “beliau mempunyai fungsi sebagai pengatur kerajaan
manusia bermata hitam” di Sumatra. Ini ditambah lagi dengan fungsi
kepemimpinannya dalam bidang agama, adat istiadat, hukum, ekonomi,
pertanian pendidikan, kebudayaan dan militer. Jadi jelas bukan hanya
sebagai PRIESTER KONING sebagaimana dikemukakan oleh pihak kolonial
Belanda.
Si Singamangaraja bukanlah tokoh
mitologis, melainkan tokoh historis yang pernah benar-benar hidup dan
berjuang demi kepentingan rakyat ketika mengadakan perlawanan sengit
terhadap Belanda.
Si Singamangaraja diakui sebagai raja dan
imam besar (DATU BOLON) oleh semua suku Batak. Akan tetapi selain dia,
rakyat masih mempunyai imam-imam di daerah- daerah dan kampung-kampung.
Mereka inilah yang mempunyai hak untuk melakukan upacara pengorbanan dan
pemujaan di tempat masing-masing, seperti pada saat sebelum dan sesudah
anak lahir, waktu pemberian nama, pada pesta perkawinan dan upacara
kematian.
Perang yang berlangsung selama 30 tahun
di Sumatra Utara itu berakhir secara tragis, bukan bagi keluarga Si
Singamangaraja XII dan rakyat Sumatra Utara, melainkan juga bagi seluruh
rakyat dan bangsa Indonesia di seluruh Nusantara. Hal ini demikian
mengingat bahwa perjuangan Raja Si Singamangaraja XII bukan saja demi
kepentingan dirinya, atau kepentingan keluarganya sendiri, melainkan
berupa perjuangan Nasional yang dilakukan bersama-sama dengan suku
bangsa lain untuk melawan para penjajah Belanda yang datang merebut
negeri dan kekayaan penduduk Indonesia.
Pada tanggal 17 Juni 1907, hari yang
naas, Raja Si Singamangaraja XII telah gugur di tembak oleh anak buah
Christoffel. Raja Si Singamangaraja XII tidak gugur sendirian. Bersama
dengan beliau turut juga gugur dua orang putra kendungnya, para pejuang
yang tidak kenal kata menyerah dalam kamusnya, yakni Patuan Nagari dan
Patuan Anggi. Pun seorang putrinya yang berusia 17 tahun yang bernama
Boru Lopian, seorang srikandi sejati yang selama ini dilupakan – turut
juga tewas oleh berondongan peluru Belanda di suatu jurang yang
ditumbuhi hutan rimba yang kelam, di Sindias di kaki gunung Sitopangan,
kira-kira 9 – 10 km dari Pearaja, Sionomhudon, Tapanuli, Sumatra Utara.
Seorang tokoh lain bernama Ompu Parlopuk, abang Si Singamangaraja XII,
telah meninggal sebelumnya ketika mengadakan perang gerilya menghadapi
Belanda. Permaisuri Si Singamangaraja XII, Boru Situmorang, menjelang
tertembaknya Si Singamangaraja XII meninggal pula karena bergerilya di
tengah hutan rimba Sumatra Utara. Bahkan cucunya yang sangat
dicintainya, Pulo Batu, Putra Patuan Nagari telah menutup usia pada umur
amat muda karena kelaparan ketika berkecamuknya perang gerilya dan
dalam keadaan dikejar-kejar oleh Belanda. Ucapan terakhir Si
Singamangaraja XII ketika gugur di jurang Sindas, Sitopangan, di Sumatra
Utara ialah “AHU SI SINGAMANGARAJA”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar