Filosofi Tungku Masak
Dari tempat memasak ini ternyata banyak
sekali muncul filosofi kebudayaan Karo. Setiap tungku terdapat lima batu
yang dibentuk empat batu berbentuk segi empat dan satu batu lagi
diletakkan di tengah, sehingga secara bersamaan bisa diletakkan dua
periuk.
Lima batu ini melambangkan lima merga
(marga) di Karo, yaitu Ginting, Sembiring, Tarigan, Karo-karo dan
Perangin-angin. Sekali memasak digunakan tiga batu, yang menandakan
jabatan anggota keluarga yang terbagi menjadi tiga (rakutna telu), yaitu
kalingbubu, anak beru dan simbuyak.
Di atas tungku perapian terdapat para,
yang terdiri dari lima lapis, yaitu masing-masing lapis secara berurut
untuk tempat menyimpan ranting (kayu) api, periuk dan alat-alat memasak,
bumbu dan bahan masakan, serta lapisan teratas tempat menyimpan padi.
Karena tinggal dalam satu atap, maka
pewarisan budaya dan tata krama kepada generasi muda pada saat itu lebih
cepat dan seragam. Ada sembilan perilaku yang sangat dilarang keras
dilakukan oleh generasi muda, karena melanggaran kesopanan dan budaya
Karo. Aturan ini masih dijalankan hingga sekarang.
Perilaku yang dilarang itu adalah sumbang
perkundul (cara duduk yang tidak sopan), sumbang pengerana (cara
berbicara yang tidak sopan/kasar), sumbang pengenen (cara melihat yang
tidak baik), sumbang perpan (cara makan yang tidak sopan), dan sumbang
perdalan (cara berjalan yang tidak baik).
Perilaku lain yang dilarang yaitu sumbang
pendahin (pekerjaan yang dibenci orang), sumbang perukuren (cara
berpikir yang jelek), sumbang peridi (cara mandi yang dilarang oleh adat
istiadat) dan sumbang perpedem (cara tidur yang tidak baik).
Besarnya minat wisatawan mancanegara
melihat keunikan rumah siwaluh jabu membuat Pemda Karo menetapkan
beberapa desa di Tanah Karo menjadi desa budaya, selain beberapa desa
lainnya, Dokan, Serdang, Barusjahe dan Peceren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar