Kamis, 11 Oktober 2012

sekumtum kenangan buat spotong senja


SEKUNTUM KENANGAN BUAT SEPOTONG SENJA

Senja kala itu masih begitu terasa dalam ingatan. Beberapa waktu silam, ketika sang surya mengendap-endap balik ke peraduannya, kami berdua bagitu mesrah menikmati lautan yang mulai keemasan. Riak-riak lautan yang terus mencumbui pasir pantai seakan turut bersuka melihat kemesraan kami. Ikan-ikan serupa teri yang sedang bekejaran menambah keestetikaan alam lautan sore itu. Di senja itu pula menyadarkan kami, betapa indahnya ciptaan tuhan. Walau disayangkan, akibat kerakusan manusia, semesta ini hanya dipandang jika mampu memuaskan nafsu-nafsu mereka.

Ketika ruang terus bersekutu pada waktu, lamat-lamat senja itu menghilang tanpa kami sadari. Satu persatu tiang-tiang lampu yang berdiri tegak di sepanjang hamparan pantai satu persatu memancarkan sinarnya. Mungkin manyambut datangnya malam itu, ikan-ikan kembali melompat tak karuan seakan ingin memangsa pijaran lampu di riak lautan itu. Kami yang mengabadikan peristiwa itu walau hanya sebatas pandangan memaksa kami turut bahagia melalui simpul senyuman.
“ Dinda, andai semua manusia tahu apa yang terjadi di malam ini, mungkin pembantaian, perusakan rumah warga tak akan pernah terjadi. Coba pandangi ikan-ikan yang melompat itu, meski di dalam lautan sana hidup mereka tak pernah aman, mereka terus saja menikmati damainya kehidupan ini”. Begitu kata yang sempat terbisik di telinga kananku ketika kami terus memandangi ikan-ikan kecil itu. Tanpa bersua, kusempatkan menatap wajah kekasihku itu sambil membalas ucapannya dengan senyuman manisku.

Yah, begitulah sekuntum kenangan yang ditorehkannya ketika kami sedang menghabiskan waktu untuk yang terakhir kalinya bertatap muka. Kenangan di senja itu menjadi pelipur lara hatiku ketika ingatan ini tersibak wajah polos dan lugunya itu. Itulah sebabnya, untuk yang ketiga kalinya bulan berganti tahun aku tak mampu untuk meluangkan waktu sejenak memalingkan wajah ke bibir pantai. Apalagi dengan matahari senja, meski sudah nampak seperti sedia kala aku belum juga bisa menikmatinya walau sejenak. Jujur, bukan karena apa dan siapa sehingga perasaan membuatku demikian. Setelah kejadian yang kualami beberapa tahun lalu, hal itu terus saja memaksaku untuk merasa bersalah seumur hidup.

Kasihku, setelah membaca kisahmu aku berfikir, mungkin apa yang menjadi goresan duka kita selama ini akan sedikit terobati jika aku sejenak menceritakan kisah perpisahan kita selama ini. Sebenarnya aku juga menyadari, bahwa apa yang akan aku ceritakan ini tak akan mampu sepenuhnya membaluti luka hatimu. Bukan karena cerita ini aku kisahkan padamu hanya melalui lembaran putih kertas. Tetapi seperti katamu dulu, bahwa kamu tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia lagi. Karena menurutmu kata-kata ternyata tidak mampu untuk mengubah apa-apa. Kasihku, walau demikian benar adanya, namun aku akan mencoba memulai kisah ini dengan penuh harap, semoga kata-kata ini mampu menggetarkan hatimu yang tengah luka.

Kasihku, mungkin kamu masih ingat ketika kamu duduk seorang diri di pantai. Waktu itu senja tengah berdiam pada waktu. Sambil memandangi burung-burung dan pasir yang basah dipantai itu, katamu, engkau pun sempat melihat siluet batu karang sambil mengharap ada bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih di atas batu yang berwarna-warni berhiaskan lokan. Menikmati panorama seperti itu, tiba-tiba saja engkau tersentak melihat cahaya bergetar bersama senja. Waktu itulah kamu tersentak dan mengingatku. Katamu, senja bergetar itu sepertinya cocok buatku. Dan, tanpa berfikir panjang engkau memotong senja itu dengan ukuran sebesar kartu pos lalu berlari menuju mobil.

Kasihku, hal inilah yang sangat perlu kuceritakan padamu. Setibanya aku di rumah saat kamu mengantarkan aku pulang di malam itu, aku langung menuju kamar tidurku. Aku terperanjat kaget. Saat membuka lebar-lebar daun pintu kamarku, tiba-tiba saja mataku silau akibat pijaran cahaya yang memutih. Saat itu pula aku merasa bahwa akulah wanita yang paling istimewa di antara wanita-wanita lain di seantero bumi akibat pijaran cahaya itu. Meski hampir tak dapat melangkah akibat silau mataku, kupaksakan diri untuk melangkah mencari dari mana asal cahaya itu. Tak berselang lama kemudian, di naungan cahaya indah yang sebenarnya telah lama kuidamkan itu, dengan samar-samar aku melihat selembar amplop berwarna putih. Aku yang tak dapat menahan kebahagiaanku saat melihat cahaya itu, kuberanikan diri untuk meraih amplop itu. Hanya beberapa detik di genggamanku, tepi amplop itu perlahan-lahan kusobek dan melihat apa isinya.

Betapa girangnya hati ini, saat kudapati rupanya amplop itu berisikan serpihan bulan purnama. Cahayanya yang memutih berbinar-binar mengalahkan indahnya warna senja kemerahan yang selama ini kita kagumi. Dengan tergesa-gesa kubaca nama pengirim serpihan bulan purnama itu. Namun, kecewa sempat bertarung pada kagumku, rupanya nama yang tergores di amplop itu bukan namamu, melainkan nama lelaki lain yang tak perlu kusebutkan padamu. Meski rasaku seperti itu, aku berfikir, rupanya cintamu selama ini tak berarti apa-apa dibanding cinta lelaki itu padaku. Akhirnya, mulai malam itulah aku memutuskan untuk tidak menerima apapun darimu lagi sebagai tanda rajutan cinta kita selama ini kini tinggal seonggok kenangan saja. Detik itu juga, cinta dan segala yang ada pada diriku kulabuhkan pada lelaki itu.



Rasa yang terus saja bahagia memiliki serpihan purnama, tak terasa olehku rupanya malam telah berlalu. Melalui celah jendela kamar, kupandang mentari yang rupanya telah bertengger di balik pegunungan. Aku yang terus memeluk erat serpihan bulan purnama itu, wajahmu sempat terlintas di benakku. Entah mengapa, fikiranku tiba-tiba saja memutuskan untuk menemui dan memberimu kabar tentang usainya hubungan asmara kita. Setelah membersihkan tubuh dari kelelahan malam, aku pun meninggalkan rumah seusai menutup rapat jedela kamar agar bias cahaya surya tak mampu menyelinap masuk untuk mencoba mengusir cahaya serpihan rembulan purnamaku.

Hampir seharian mencari keberadaanmu yang tak kunjung kutemui, setelah sang surya mengubah dirinya menjadi senja yang tak lagi kukagumi, aku memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Apalagi rasa rindu pada serpihan rembulan purnamaku sudah tak mampu kubendung lagi. Tapi ketahuilah kasihku, waktu itu aku menyempatkan diri ke kantor polisi dan menemui orang-orang yang mengenalimu. Semua itu aku maksudkan hanya semata-mata agar merekalah yang menyampaikan kabar tentang matinya perasaan cintaku padamu.

Kasihku, tak berselang lama kemudian, sesampainya di rumah, setelah aku usai melepaskan rasa rindu pada serpihan bulan purnamaku, aku dengan sengaja menonton tv hanya sekedar ingin tahu kabar terakhir para polisi dan orang-orang yang kutemui sebelumnya. Alangkah kagetnya aku. Semua siaran tv di sore itu rupanya memberitakan tentang pengejaran dirimu. Menanggapi akan hal itu, aku kembali berfikir, sebenarnya apa yang membuatmu berlari menghindari polisi dan orang-orang yang bermaksud baik padamu. Terus saja aku tak melepas pandanganku ke layar tv membuat tatapanku tertuju pada gambarmu yang sempat terekam kamera wartawan saat kamu berjalan sambil mengantongi sesuatu.

“Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana”. Saat membaca kisah seperti itu darimu, aku baru tahu apa maksud kamu menghindari polisi dan orang-orang itu. Rupanya kamu mengira mereka akan menghakimimu karena mengambil sepotong senja buatku yang sebenarnya sudah tak pernah kuharapkan lagi.

Kasihku, sebenarnya aku salut padamu. Mungkin karena rasa cintamu padaku sehingga kamu nekat memotong senja. Tapi saat aku tahu semuanya, kekecewaanku semakin membungbung tinggi padamu. Dari sekian kali tahun berganti dalam hubungan asmara kita dulu, ternyata kamu belum mampu merasakan apa yang sebenarnya aku inginkan darimu. Aku sadar, saat kemesraan kita bak mekar sekuntum mawar dulu aku sering mengajakmu menikmati senja di tepi pantai. Tapi itu bukan semata-mata untuk meyakinkan kamu bahwa aku benar-benar menyukai yang namanya senja. Aku hanya ingin agar kamu memperhatikan siapa saja yang menikmati senja itu. Orang asing dari berbagai negara bebas merampas kekayaan negeri kita dengan berdalih ingin menikmati indahnya senja di negara kita ini. Mereka dengan otaknya yang encer seolah-olah mengagumi budaya bangsa kita yang sama sekali tak ada di negaranya. Dan lebih parahnya, mereka juga seakan mengagumi senja di pantai kita, padahal senja di pantai pasti ada di negara mereka juga kan. Ditambah lagi pemerintah kita yang hanya memikirkan infestasi agar kantong mereka mudah dipenuhi lembaran uang. Mereka sama sekali tak pernah memikirkan bagaimana nasib rakyat Indonesia yang miskin ini tiap hari memunguti sampah bekas makanan dan minuman orang-orang asing. Coba kamu pikir, semua ini akibat apa kalau bukan karena senja yang hanya dinikmati bagi mereka yang elit saja.

Kasihku, lelaki yang pernah mengisi hai-hariku dengan senja. Sekali lagi, semua ini kukatakan padamu agar apa yang selama ini engkau kagumi sebenarnya tidak seindah dengan apa yang ada di rasamu. Kisah ini sengaja ku ungkapkan agar engkau tersadar bahwa segala yang kita anggap baik-baik saja ternyata semuanya bermasalah. Mulai dari sekolah yang mengumbar pendidikan gratis nyatanya masih banyak orang tua di negara ini yang tak mampu menyekolahkan anaknya hanya akibat mereka tak mampu membayar biaya pendidikan yang tak dapat mereka jangkau. Kasihku, masih ingatkah kamu saat kita masih kuliah dulu. Kampus kita yang katanya siap untuk mengabdi bagi mereka yang tak punya, seenaknya saja menaikkan biaya perkuliahan kita. Mulai dari pembayaran ospek, PPL, hinggga pembayaran wisuda seenaknya saja dinaikkan. Padahal semua mahasiswa tahu, bahwa mulai dari bangunan fisik sampai system perkuliahan tak ubahnya kapal pecah yang karam di samudera hindia. Dan bukan hanya itu, negara yang dikenal dengan kekayaan alamnya ini rupanya berutang sebanyak sembilan juta per orang. Coba kamu hitung, berapa banyak jumlah utang negara kita jika dijumlahkan dari keseluruhan penduduk yang ada di negara ini. Mungkin sampai kiamat tiba, utang Indonesia ini tak akan pernah terlunasi lagi. Kejadian seperti ini hanya akibat ulah pemerintah kita yang nampaknya baik-baik saja namun nyatanya bermasalah. Akibat kebutuhan yang tak terpenuhi, perampokan dan saling bunuh membunuh sudah teramat lumrah di mata orang. Korupsi yang tak pernah lepas dari pejabat sudah tak dianggap sifat yang memalukan lagi. Semua kejadian seperti itu menandakan bahwa apa yang selama ini kita anggap baik-baik saja rupanya bermasalah. Ooooh, maaf. Kalau aku jadi ngelantur seperti ini. Padahal aku hanya ingin mengisahkan tentang indahnya sepotong senja yang kamu anggap baik-baik saja.

Kasihku, lelaki yang tak akan pernah luput dari ingatanku. Sebelum aku mengakhiri kisah ini, aku ingin berkata padamu untuk kesekian kalinya. Melalui tulisan ini aku mewakili rasa permohonan maaf para polisi dan orang-orang yang dulu mengejar-ngejar kamu. Perlu kamu ingat, bahwa mereka sebenarnya tidak keberatan saat kamu mengambil sepotong senja buatku di pantai itu. Tapi, seperti yang aku katakan sebelumnya, mereka mengejarmu hanya untuk mengatakan bahwa aku telah mendapatkan serpihan bulan purnama dari seorang lelaki.
Kekasihku, aku tahu, pasti kamu telah bosan membaca kisahku ini. Tapi tenanglah, kamu tak perlu khawatir. Cerita ini akan benar-benar kusudahi. Biarlah kisah-kisah yang tak sempat aku ceritakan padamu melebur satu bersama ruang dan waktu yang telah jadi sejarah.

Selamat menikmati langit sore di dunia paling sunyi kasihku. Semoga senja yang selama ini kamu kagumi tetap setia membentuk cakrawala demi keindahan bumi. Dan satu lagi, sepotong senja yang kau kirimkan dulu tak pernah aku terima. Sebab, apa yang kau cemaskan telah benar-benar menjadi nyata. Lautan dan matahari telah membakar langit dan airnya tumpah membanjiri permukaan bumi. Akibatnya, buah hatiku yang terlahir bersama cahaya bulan purnama kini menjadi pedagang asongan yang menjajakan senja tiruan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar